MAKALAH
TAFSIR
SURAT AL_AN’AM AYAT 160 (IMBALAN MENGAJAR).
Di susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Oleh Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
1.
Irahatul Munafisah (210063)
INSTITUT ISLAM
NAHDLATUL ULAMA’ (INISNU)JEPARA
FAKULTAS TARBIYAH SEMESTER 3B
2010/2011
Jln.Taman Siswa No9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode Pos 59427,Telp./Fax (0291)593132
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah.
Segala puji syukur hanya milik Allah sang Khalik, yang maha
pengasih dan maha penyang, dan shalawat salam semoga tetap tercurahkan kepada
Rasulullah yang senantiasa kita harap selalu syafaat beliau kelak di yaumil
kiyamah.
Mengambil upah dalam mengajar maka berhak menerima dari jerih payahnya. Sebagaimana dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa orang yang mengajar (mengajar ilmu umum, agama ataupun Al quran), dapat menerima upah dari apa yang diajarkan.
Mengambil upah dalam mengajar maka berhak menerima dari jerih payahnya. Sebagaimana dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa orang yang mengajar (mengajar ilmu umum, agama ataupun Al quran), dapat menerima upah dari apa yang diajarkan.
B.
Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian
imbalan mengajar?
2.
Bagaimana tafsir dari Al-qur’an Surat Al-An’am Ayat 160?
3.
Apa yang dapat diambil dari
isi kandungan surat Al-anam ayat 160?
C.
Tujuan penulisan.
1. Agar memahami
pengertian imbalan mengajar.
2.
Untuk mengidentifikasi tafsiran surat al-anam ayat 160.
3.
Supaya mengetahui isi kandungan dari tafsir surat al-anam
ayat 160.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
SURAT AL-AN’AM
AYAT 160.
Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa
yang membawa
perbuatan jahat, Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun
tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al-An’am, 6:
160)[1]
a. Imbalan
Mengajar.
Mengambil Upah Mengajar baik ilmu
pendidikan umum, agama atau Al Quran Bagi
orang yang mengajar Al Quran atau sabda Nabi SAW atau ilmu-ilmu agama, dia
berhak menerima upah dari jerih payahnya atau usahanya. Sebagaimana hadis
Rasulullah menyebutkan: “Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda,
pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah
Ta`ala”. (H.R Bukhari dan muslim.)
Pendapat Para Imam Mazhab tentang Upah Dalam Pekerjaan Ibadah. Upah dalam pekerjaan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa,haji dan membaca al quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.[2]
Mazhab hanafi perpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa haji, atau membaca al quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Karena rasul saw bersabda :
Artinya:
”Bacalah olehmu Al Quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Pendapat Para Imam Mazhab tentang Upah Dalam Pekerjaan Ibadah. Upah dalam pekerjaan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa,haji dan membaca al quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.[2]
Mazhab hanafi perpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa haji, atau membaca al quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Karena rasul saw bersabda :
Artinya:
”Bacalah olehmu Al Quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Dijelaskan oleh sayid sabiq dalam kitabnya fiqh sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti pahala pengajar alquran, guru-guru disekolah dan yang lainnya diperbolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, bertani, dan yang lainnya dan waktunya tersisa untuk mengajarkan alquran.
Menurut madzab Hambali bahwa mengambil upah dari pekerjaan azan, qomat, mengajarkan Al Quran, fiqh, hadis, adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya. Untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti mengajarkan Al Quran, hadis, dan fiqh dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al Quran, shalat, dan yang lainnya.
Madzab Maliki, Syafi`i, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar Al Quran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa
pengambilan upah sebagai imbalan mangajar Al Quran dan pengajaran ilmu, baik
secara bulanan maupun sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang
pengambilan upah dari tilawah Al Quran dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan
dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh
mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al Quran.
Imam Syifi`i berpendapat bahwa pengambilan
upah dari pengajaran fiqh, hadis, menggali kuburan, memandikan mayat, dan
membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah adalah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah adalah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.
b.
Tafsir Ayat.
Pengertian
Umum.
Di dalam surat ini Allah
SWT, telah menerangkan prinsip-prinsip iman dan
menegakan bukti-bukti atas kebenarannya. Juga membantah
syubhat-syubhat yang dikeluarkan oleh orang-orang
kafir. Kemudian pada sepuluh wasiat tersebut, Allah menyebutkan pula tentang
prinsip-prinsip keutamaan
dan tata kesopanan yang diperintahkan oleh islam. Juga disebutkan kekjian-kekjian dan sifat-sifat
rendah yang menjadi lawannya, yang dilarang oleh islam.
Untuk itu Allah Ta’ala menerangkan
pula disini tentang pembalasan umum diakhirat kelak atas
kebaikan-kebaikan. Yaitu, iman, amal-amal
sholeh dan pembalasan
atas keburukan-keburukan. Yaitu, kekafiran dan segala perbuatan
yang keji. Baik yang tampak atau yang tidak tampak.
PENJELASAN
Yang berbuat kebaikan akan mendapat
sepuluh kali pahala.
[3]
من جاء با لحسنة فله عشر امثا لها
Barang siapa yang
datang kepada Tuhannya
pada hari kiamat dengan membawa kelakuan yang baik, berupa ketaatan yang telah dia
lakukan, sedang hatinya tentram dengan keimanan, maka dia
akan memperoleh disisi Tuhan-nya
sepuluh kebaikan semisalnya, dari anugerah
Tuhan yang tiada
terbatas, dan sepuluh kebaikan ini tidak
termasuk kelipatan gandaan yang dijanjikan
oleh Allah bagi orang yang
Dia kehendaki atas beberapa jenis amal. Seperti pembelanjaan
dijalan Allah, karena untuk pembelanjaan dijalan Allah itu, Allah benar-benar telah menjanjikan
pahala yang berlipat ganda tanpa kaitan.
Firman-Nya:
ان تقر ضوا الله
قر ضا حسنا ىضعفه لكم و ىغفر لكم والله شكور حليم.
“ jika kamu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) yang baik itu
kepadamu, dan mengampuni kamu. Dan
Allah maha pembalas jasa lagi Maha
penyantun.” (At-Tagabun, 64:17).
Dan Allah menjanjikan pula dengan
penggandaan pahala yang
banyak pada firman-Nya:
“ siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik ( menafkanlah hartanya dijalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang
banyak”. (Al-baqarah,2: 245).
Allah juga berjanji akan melipatgandakan sampai tujuh
ratus kali pada
firman-Nya:
“ perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Na
lagi Maha Mengetahui.” (Al-baqarah,2 :261).[4]
Semuanya ini menunjukkan
adanya perbedaan sifat-sifat kejiwaan yang terdapat pada orang-orang yang menafkahkan hartanya dan orang-orang yang berbuat kebajikan lainnya. Seperti keihlasan dalam niat
dan mengharap pahala disisi
Allah, serta menutup aib orang lain yang diberi dan
menghindari kemasyhuran nama lain sebagai teladan yang baik dan menghindari keuntungan-keuntungan dan kepentingan-kepentingaan pribadi maupun sifat-sifat terendah yang menjadi kebalikannya, seperti riya’, menyukai kemasyhuran yang batil, menyebut-nyebut kenikmatab dan menyakiti hati orang
lain.
Kesimpulannya, bahwa lipat sepuluh
akan diberikaan kepada setiap orang yang melakukan kebaikan. Sedangkan kelipatan-kelipatan yang lebih dari itu, berbeda-beda sesuai
dengan kehendak Allah Ta’ala berkaitan dengan keadaan-keadaan
orang yang berbuat baik, yang Allah ketahui. Barang siapa yang mengeluarkan satu dirham dengan hati yang sedih atas kehilangannya satu dirham
itu, tentu tidak sama dengan orang yang mendermakannya dengan hati yang rida, dan gembira karena mendapatkan
taufik dari Allah.[5]
Sehingga ia dapat melakukan kebaikan dan akan memperoleh pahala diakhirat.
و من
جا ء با لسئة فلا يجزي الا مثلها.
Dan barang siapa melakukan perbuatan
buruk yang menjadi tabiat kekafiran dan diliputi oleh kekejian dan kemungkaran,
maka takkan diberi balasan kecuali hukuman yang buruk semisalnya, sesuai dengan
sunnah Allah tentang pengaruh amal-amal buruk dalam merusak dan mengotori jiwa.
و هم
لا يظلمو ن
Az-zulm, mengurangi sesuatu,
sebagaimana dikatakan firman Allah ta’ala.
كلتا
الجنتين اتت اكلها و لم تظلم منه شئا
“ kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu
tiada kurang buahnya sedikitpun.” (Al-Kahfi, 18: 33).
Maksudnya ayat sesungguhnya
masing-masing dari kedua golongan tersebut yaitu golongan yang melakukan
kebaikan dan golngan yang melakukan keburukan, tidak dianiaya pada hari
pembalasan oleh Allah, karena dia telah suci dari perbatan zalim, menurut akal
atau naqal. Muslim telah meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Zar dari Nabi saw.
Tentang firman yang diriwayatkan dari Tuhannya bahwa Allah berfirman (dalam
hadis qudsi sebagai berikut):
“ wahai hamba-Ku, sesungguhnya
Akuu telah mengharamkan atas diri-Ku berbuat aniaya dan Aku jadikan
penganiayaan sesama kamu sebagai sesuatu yang diharamkan. Maka janganlah kamu
saling menganiaya.” (Al-Hadis).
Juga tidak pula ada dari pihak
selain Alla, karena tidak ada seorangpun makhluk yang mempunyai kekuasaan atau
usaha pada hari itu, yang memungkinkan berbuat aniaya, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang kuat dan jahat di dunia, terhadapa orang-orang yang
lemah. Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saq.
Tentang firman yang beliau riwayatkan dari Tuhannya. Katanya:
“ sesungguhnya Allah ta’ala mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barang siapa berniat
melakukan suatu kebaikan, namun dia tidak
mengamalkannya, maka kebaikan itu dicatat oleh Allah untuknya pada sisi-Nya
sebagai suatu kebaikan penuh. Dan bila
ia berniat melakukan kebaikan, lalu dia mengamalkannya, maka kebaikan itu dicatat
oleh Allah pada sisinya, sebagai sepuluh
kebaikan sampai dengan tujuh ratus lipat sampai berkali-kali lipat
yang banyak. Dan barang siapa berniat melakukan
keburukan, lalu tidak mengamalkannya, maka keburukan itu
dicatat oleh Allah pada sisinya untuk seseorang itu sebagai satu kebaikan
penuh. Dan jika ia berniat melakukan keburukan, lalu dia mengamalkannya, maka
keburukan itu dicatat oleh Allah sebagai satu keburukan.”
Dan yang dimaksud Allah dengan mencatat
kebaikan dan keburukan ialah, bahwa ia menyuruh para Malaikatnya supaya
mencatat kebaikan dan keburukan itu, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Abu Hurairah. Katanya, Allah
berfirman, “ apabila hambaku hendak melakukan suatu keburukan suatu keburukan,
maka janganlah kalian tulis keburukan itu padanya, sebelum dia melakukannya.
Dan jika ia melakukannya, maka tulislah untuknya keburukan semisalnya.[6]
Dan jika dia meninggalkannya demi keridhaan-Ku, maka tulisalah baginya satu
kebaikan, namun dia tidak mengamalkaanya, maka tulislah baginya sebagai sepuluh
kali lipat kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat.
Hadist ini merupakan keterangan
tentang sebab ditulisnya keburukan sebagai satu kebaikan. Yaitu, bahwa
ditulisnya itu karena orang itu tidak memperturutkan hawa nafsu dengan
menahannya dari melakukan keburukan, dengan maksud ingin memperoleh keridhaan
Allah dan takut terhadap murka dan siksa-Nya.
Firman-Nya:” Barang siapa membawa
amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipatnya;”.
penilaian dan pelipatgandaan itu tentunya
kembali kepada Allah SWT. Disisi lain, ia tidak hanya terbatas pada sepuluh
kali lipat, tetapi bisa melebihinya sebagaimana diisyaratkan oleh Qs: Al-baqarah: 261.
“ perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh)orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir
seratus biji, Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha luas (Karunia-Nya) lagi maha mengetahui.”
Firmannya: barang siapa yang
membawa perbuatan buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang
dengannya, “
Penggalan ayat ini ditampilkan dalam
bentuk pembatasan, yaitu melalui kalimat : tidak diberi pembalasan
melainkan, karena ditekankan disini adalah sisi keadilan Ilahi, berbeda
dengan pengalan yang lalu, disana yang ingin ditekankan adalah sisi
kemurahn-Nya.di catat bahwa kemurahan
Ilahi akan diperoleh juga jika kejahatan yang telah direncanakan dibatalkan
oleh kesadaran perencanaanya, karena kesadaran dan pembatalan itu dinilai
sebagai satu kebaikan.[7]
Thabathabai mengemukakan makna
tambahan disamping makna diatas, berdasar berhubungan ayat ini dengan ayat
sebelumnya dan sesudahnya. Yakni setelah diuraikan pada ayat-ayat yang lalu
tentang persatuan dan kesatuan dalam kebenaran juga perselisihan dan
pengelompokan dalam tujuan, maka apa yang dikemukakan itu merupakan dua hal
yang bertolak belakang, yang baik dan buruk. Allah akan membalas masing-masing
dengan pembalasan yang sesuai tanpa sedikit penganiayaan pun: “ Barang
siapa membawa amal yang baik maka baginya sepuluh kali lipatnya, dan barang
siapa membawa perbuatan yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengannya.” Dengan demikian, ayat ini serupa dengan ayat-ayat
yang lain seperti firman-Nya: “ Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa” (Qs. Asy-syura :40).
B.
Kandungan Nilai yang dapat diambil dari Tafsiran Ayat diatas yaitu:
Amal perbuatan yang kita lakukan selalu dipantau oleh Allah, setiap
perbuatan baik akan dicatat dalam buku kebaikan dan digandkan pahalanya. Dan
setiap perbuatan buruk akan dilipat gandakan pula dosanya. Dalam dunia
pendidikan semua kegiatan yang baik akan mendapat jalan yang baik dan pahala
yang berlipat ganda juga, seperti pahala seorang guru yang mengajarkan ilmu
kepada muridnya tanpa pamrih.
Orang yang mengambil upah dari
mengajarkan ilmu pendidikan baik ilmu umum maupun ilmu agama serta Al Quran
adalah boleh karena hal tersebut merupakan hasil dari jerih payahnya. Mengenai
masalah ini para ulama banyak yaag berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan
ada yang tidak. Seperti imam Hanafi yang tidak membolehkan, kemudian imam
Syafi`I, Maliki, Ibnu Hazm yang membolehkan, imam Hambali membolehkan ketika
perbuatannya termasuk mashalih, dan mengharamkan ketika perbuatannya tergolong
taqorrub.
BAB III
PENUTUP.
a.
Simpulan.
Mengambil Upah Mengajar baik ilmu
pendidikan umum, agama atau Al Quran
Bagi orang yang mengajar Al Quran atau sabda Nabi SAW atau ilmu-ilmu
agama, dia berhak menerima upah dari jerih payahnya atau usahanya. Sebagaimana
hadis Rasulullah menyebutkan: “Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau
bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab
Allah Ta`ala”. (H.R Bukhari dan muslim.)
Di dalam surat
ini Allah SWT, telah
menerangkan prinsip-prinsip iman
dan menegakan bukti-bukti atas
kebenarannya. Juga membantah
syubhat-syubhat yang
dikeluarkan oleh orang-orang kafir. Kemudian pada sepuluh wasiat tersebut, Allah menyebutkan pula
tentang prinsip-prinsip keutamaan
dan tata kesopanan yang diperintahkan oleh
islam. Juga disebutkan
kekjian-kekjian dan sifat-sifat
rendah yang menjadi lawannya,
yang dilarang oleh islam.
Untuk itu Allah
Ta’ala menerangkan pula
disini tentang pembalasan
umum diakhirat kelak atas
kebaikan-kebaikan. Yaitu,
iman, amal-amal sholeh
dan pembalasan atas
keburukan-keburukan. Yaitu,
kekafiran dan segala
perbuatan yang keji. Baik yang tampak
atau yang tidak
tampak.
Amal perbuatan yang kita lakukan selalu dipantau oleh Allah, setiap
perbuatan baik akan dicatat dalam buku kebaikan dan digandkan pahalanya. Dan
setiap perbuatan buruk akan dilipat gandakan pula dosanya. Dalam dunia
pendidikan semua kegiatan yang baik akan mendapat jalan yang baik dan pahala
yang berlipat ganda juga, seperti pahala seorang guru yang mengajarkan ilmu
kepada muridnya tanpa pamrih
b. Kata
Penutup.
Alhamdulillah sudah semestinya menjadi kalam ikhtitan. Tuhan yang mengajari
kita ilmu dengan pena dan mengajari manusia atas apa apa yang tidak diketahui.
Karena dengan izin dan ridho-Nya yang menjadi dambaan setiap insan, kami dengan
sehat wal-afiat dapat merampungkan tugas mata kuliah Tafsir dengan baik meskipun jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh usamah ar-rifa’i. 2008. Tafsirul Wajiz. Jakarta: gema insani.
Dr.H. Hadi Suyandi, M.Si,Fiqh
Muamalah, PT.Raja Grifindo Persada, Bandung.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV
Toha Putra.
M. Quraish Shihab.2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati
[1] Syekh usamah ar-rifa’i.
2008. Tafsirul Wajiz. Jakarta: gema insani. Hal 151.
[2] Dr.H.
Hadi Suyandi, M.Si,Fiqh Muamalah, PT.Raja Grifindo Persada, Bandung: 2005.
[3] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha Putra. Hal 149
[4] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha Putra. Hal 150
[5]
Ibid hal 151.
[6]
Ibid hal 153.
[7] M. Quraish
Shihab.2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. Hal 364-365.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar